Suatu ketika Rasulullah SAW bersumpah akan berpisah dengan isteri-isterinya selama satu bulan, sebagai peringatan bagi mereka kerana kurang biasa mengikuti kehidupan beliau yang zuhud. Selama sebulan beliau tinggal seorang diri dalam sebuah kamar sederhana yang letaknya agak tinggi.
Terdengar kabar di kalangan para sahabat bahwa Nabi SAW telah menceraikan semua isterinya.
Ketika Umar bin Khaththab mendengar kabar ini, segera ia berlari ke masjid. Setiba di sana, ia melihat para sahabat sedang duduk termenung, mereka bersedih dan menangis. Juga kaum wanita, mereka menangis di rumah-rumah mereka.
Umar lalu kembali ke masjid, terlihat olehnya beberapa orang sahabat sedang menangis di mimbar. Kemudian dia duduk bersama para sahabat, lalu berjalan ke arah kamar Nabi Muhammad SAW, yang terletak di tingkat atas masjid. Umar mendapati Rabah, sahabat yang selalu mengikuti Rasulullah, dan dia meminta kepada Rabah agar memohonkan izin kepada Rasulullah untuk menemuinya.
Rabah menghadap Nabi SAW, kemudian kembali dan memberitahukan bahwa dia telah menyampaikan permohonan izin Umar, namun Nabi SAW hanya diam. Permintaan untuk menjumpai Nabi SAW diulang beberapa kali, hingga ketiga kalinya barulah Nabi Muhammad SAW mengizinkan Umar untuk naik menghadapnya.
Ketika masuk, Umar melihat Nabi SAW tengah berbaring di atas sehelai tikar yang terbuat dari pelepah daun kurma, sehingga pada badan Nabi SAW yang putih bersih itu terlihat jelas bekas-bekas guratan daun kurma. Di tempat kepala beliau ada sebuah bantal yang terbuat dari kulit binatang yang dipenuhi daun dan kulit pohon kurma.
Selepas mengucapkan salam kepada beliau, Umar kemudian bertanya,” Apakah Tuan telah menceraikan isteri-isteri Tuan, ya Rasulullah?” Nabi SAW menjawab, ‘Tidak.”
Umar sedikit lega, lalu dia mengatakan,”Ya Rasulullah, kita adalah kaum Quraisy yang selamanya telah menguasai wanita-wanita kita. Tetapi setelah kita hijrah ke Madinah, keadaannya sungguh berbeza dengan orang-orang Ansar. Mereka telah dikuasai wanita-wanita mereka sehingga wanita-wanita kita terpengaruh dengan kebiasaan kaum Ansar.” Nabi SAW tersenyum mendengar perkataan Umar. Umar pun Menangis.
Umar lalu memperhatikan keadaan kamar Nabi SAW. Terlihat tiga lembar kulit binatang yang telah disamak dan sedikit gandum di sudut kamar itu, selain itu tidak terdapat apa pun. Umar menangis sesenggukan melihat keadaan Nabi yang seperti itu.
Tiba-tiba Rasulullah SAW bertanya kepada Umar, “Mengapa engkau menangis, wahai Umar?”
“Bagaimana saya tidak menangis, ya Rasulullah. Saya sedih melihat bekas tanda tikar di badan Tuan yang mulia dan saya prihatin melihat keadaan kamar ini. Semoga Allah SWT mengkaruniakan kepada tuan bekal yang lebih banyak.
Orang-orang Parsi dan Romawi yang tidak beragama dan tidak menyembah Allah, tetapi raja mereka hidup mewah. Mereka hidup dikelilingi taman yang di tengahnya mengalir sungai, sedangkan engkau adalah Rasul Allah, tetapi engkau hidup dalam keadaan sangat miskin,” kata Umar bin Khaththab.
Mendengar jawaban Umar, Rasulullah SAW bangun dan berkata, “Wahai Umar, sepertinya engkau masih ragu mengenai hal ini. Dengarlah, kenikmatan di alam akhirat tentu akan lebih baik daripada kesenangan hidup dan kemewahan di dunia ini. Jika orang-orang kafir itu dapat hidup mewah di dunia ini, kita pun akan memperoleh segala kenikmatan tersebut di akhirat nanti. Di sana kita akan mendapatkan segala-galanya.”
Kata-kata Nabi “Jika orang-orang kafir itu dapat hidup mewah di dunia ini, kita pun akan memperoleh segala kenikmatan tersebut di akhirat nanti” tentu tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahawa keadaan di akhirat, dalam hal ini di syurga, sama dengan “kenikmatan tersebut”. Kerana, dalam sebuah hadis dikatakan, kenikmatan di syurga itu sungguh luar biasa, belum pernah kita lihat dan kita dengar sebelumnya, bahkan kita bayangkan saja belum.
Mendengar sabda Nabi, Umar merasa menyesal. Lalu dia berkata, “Ya Rasulullah, mohonlah kepada Allah SWT untuk saya. Saya telah bersalah dalam hal ini.” Rasulullah SAW membesarkan hati sahabatnya itu. Umar pun merasa lega. Kehidupan beliau yang zuhud itu pun menjadi salah satu keutamaan beliau yang sebelumnya sering disalah ertikan oleh para isterinya. Dan setelah kejadian itu, Rasulullah menasihati para isterinya akan kepastian janji-janji Allah SWT di yaumul akhir. Para isteri itu pun akhrinya menyesali perilaku mereka dan memperbaharui kesetiaan mereka kepada Rasulullah SAW bahawa, apa pun yang terjadi, mereka semua memilih ikut Rasulullah SAW, termasuk untuk hidup zuhud.
Sumber: MyIbrah
No comments:
Post a Comment